widgeo.net

Selasa, 27 Agustus 2013

Proses Pencokelatan pada Buah Apel

Apel adalah buah yang digemari oleh banyak orang. Terdapat beberapa jenis apel, seperti: Apel Granny Smith, Apel Fuji dan Apel Malang. Tiap jenis apel memiliki rasa yang khas, tetapi ada satu kesamaan dari semua apel, yaitu perubahan warna menjadi kecokelatan ketika apel dipotong atau dikupas. Perubahan warna ini dapat disertai dengan perubahan rasa pada apel yang mengurangi kelezatan buah tersebut. Banyak orang yang tidak mengetahui alasan di balik perubahan warna pada apel. Sesungguhnya, perubahan warna dari apel tersebut melibatkan reaksi kimia yang disebut proses pencokelatan.
 Proses Browning atau pencokelatan adalah proses di mana suatu zat, pada umumnya berupa makanan, berubah warna menjadi kecokelatan.[1] Perubahan warna tersebut umumnya diikuti oleh perubahan rasa pada makanan yang mengurangi cita rasa makanan sehingga proses ini seringkali dianggap merugikan. Namun, sesungguhnya ada pula proses pencokelatan yang diinginkan dan sengaja dilakukan pada bahan pangan. Terdapat dua jenis proses pencokelatan, yaitu: proses pencokelatan yang melibatkan kerja enzim atau pencokelatan enzimatik dan proses pencokelatan yang terjadi tanpa kerja dari enzim atau pencokelatan oksidatif. Karamelisasi dan Reaksi Maillard adalah dua jenis utama dari proses pencokelatan oksidatif. Karamelisasi merupakan proses oksidasi yang terjadi pada gula, sedangkan reaksi Maillard adalah reaksi kimia asam amino dan gula pereduksi.[2]

Proses pencokelatan enzimatik melibatkan enzim-enzim seperti Monophenol Monoxygenase atau tyrosinase, polifenol oksidase atau fenolase, dan laccase.[3] Proses pencokelatan yang dialami oleh apel merupakan proses pencokelatan enzimatik yang dipengaruhi oleh kerja enzim fenolase. Ketika apel dikupas atau dipotong, enzim yang tersimpan di dalam jaringan apel akan terbebas. Apabila enzim tersebut mengalami kontak dengan oksigen di udara, fenolase akan mengkatalisis konversi biokimia dari komponen fenolik yang ada pada apel sehingga komponen tersebut berubah menjadi pigmen coklat atau melanin. Proses ini pada umumnya terjadi pada pH antara 5,0-7,0 dan pada temperatur yang cenderung hangat. Sebagai tambahan, kontak dengan besi atau tembaga akan mempercepat reaksi pencokelatan enzimatik. Hal ini dapat diamati ketika apel dipotong menggunakan pisau yang telah berkarat atau ditaruh di dalam mangkok tembaga lalu diaduk-aduk, proses pencokelatan yang terjadi dapat terlihat dalam waktu yang lebih singkat.[4]

Terdapat dua reaksi dalam proses pencokelatan enzimatik yaitu reaksi Cresolase dan Catecholase.[5] Dalam reaksi Cresolase, komponen monofenol yang ada pada apel mengalami hidroksilasi menjadi o-difenol. Dalam reaksi Catecholase, difenol diubah menjadi o-quinone. Reaksi ini sering juga disebut reaksi difenolase. Reaksi Catecholase terjadi segera setelah terbentuknya senyawa o-difenol, tanpa memerlukan keberadaan oksigen ataupun enzim fenolase. Setelah senyawa o-quinone terbentuk, senyawa o-difenol akan mengalami hidroksilasi menjadi senyawa trifenolik yang akan bereaksi lebih jauh dengan o-quinone dalam proses pembentukan melanin coklat pada apel.[6]

Komponen fenolik pada apel berupa flavonoid dan asam fenolik. Flavonoid yang ada di dalam apel adalah flavonol, catechin, dan epicatechin. Contoh asam fenolik yang ada di dalam apel adalah asam cafeic dan asam p-coumaric yang membentuk ester dengan asam quinic di dalam apel. Senyawa fenolik lainnya adalah floretin glikosida. Konsentrasi masing-masing senyawa fenolik pada apel bervariasi, bergantung pada bagian-bagian di mana senyawa tersebut ada. Pada kulit apel, senyawa fenolik yang mendominasi adalah quercetin glikosida dan flavonol. Bagian inti dan biji buah apel banyak mengandung floretin glikosida. Bagian korteks buah apel banyak mengandung asam fenolik.[7]

Sebagian besar komponen fenolik yang dimiliki oleh apel berbentuk senyawa o-difenol. Senyawa o-difenol adalah senyawa organik berupa antioksidan yang berfungsi mengurangi resiko kanker. Dalam proses pencokelatan, enzim fenolase mengubah o-difenol pada apel menjadi o-quinone yang lebih reaktif. Senyawa o-quinone akan bereaksi lebih jauh dengan komponen fenolik lainnya dan protein pada jaringan apel dan membentuk melanin yang memberikan warna cokelat pada apel. Enzim fenolase memerlukan oksigen agar dapat bekerja. Oksigen berperan sebagai akseptor hidrogen dalam proses pencokelatan sedangkan Komponen fenolik pada apel merupakan substrat dari enzim fenolase.[8]

Proses pencokelatan juga dapat disebabkan oleh luka pada apel yang terjadi karena benturan-benturan pada permukaan apel. Ketika apel terluka, ada beberapa sel yang menjadi rusak. Kerusakan sel ini akan mengekspos komponen fenolik pada apel sehingga fenolase dapat dengan mudah bereaksi dengan komponen fenolik tersebut. Proses pencokelatan terjadi ketika fenolase mengoksidasi komponen fenolik yang sudah terekspos dan membentuk senyawa melanin yang memberikan warna kecokelatan pada apel. Konsentrasi dari fenolase yang ada pada apel akan mempengaruhi seberapa jauh proses pencokelatan terjadi.[9]

Pencegahan proses pencoklatan sangat penting dalam industri makanan, karena warna seringkali dianggap sebagai tolak ukur konsumen dalam memilih makanan. Kemungkinan terjadinya proses pencokelatan pada apel yang disebabkan oleh benturan-benturan meningkatkan kewaspadaan para produsen apel dalam proses pengemasan apel. Apabila apel tidak dikemas dengan baik, kemungkinan terjadinya luka pada saat transportasi apel semakin besar. Benturan-benturan yang terjadi akan menyebabkan terjadinya proses pencokelatan pada apel yang akan mengurangi daya tarik dan rasa dari apel. Oleh karena itu, produsen biasanya membungkus apel dengan kertas sebelum dimasukkan ke dalam kardus agar kemungkinan terjadinya benturan pada apel dapat dikurangi.
Penggunaan inhibitor dapat dilakukan guna mengontrol proses pencokelatan. Inhibitor bagi enzim fenolase dapat berupa dietil-ditiokarbonat. Seyawa ini dapat mencegah terjadinya proses pencokelatan enzimatik. Proses inhibisi dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu: inaktivasi enzim, reaksi inhibitor dengan substrat, dan reaksi inhibitor dengan produk. Inaktivasi enzim terjadi ketika inhibitor membentuk suatu kompleks dengan enzim yang menyebabkan enzim tersebut menjadi tidak aktif dan tidak dapat bereaksi dengan senyawa. Inhibitor bereaksi dengan substrat sehingga substrat mengalami perubahan struktur dan tidak dapat membentuk kompleks dengan enzim. Inhibitor juga dapat bereaksi dengan produk. Namun, cara ini tidak dapat digunakan pada apel karena senyawa dietil-ditiokarbonat beracun bagi tubuh.
Mengurangi kontak makanan dengan oksigen juga dapat mengontrol proses pencokelatan. Metode ini dapat dilakukan dengan merendam apel dalam air sebelum mengonsumsi apel. Hal ini dapat dilakukan pada apel yang tidak langsung dikonsumsi setelah dikupas atau dipotong. Perendaman apel bertujuan agar enzim fenolase tidak dapat bereaksi dengan oksigen sehingga reaksi pencoklatan tidak terjadi karena proses pencokelatan enzimatik membutuhkan bantuan oksigen agar dapat terjadi.[10] Proses pencokelatan juga dapat dikontrol dengan proses pemanasan makanan. Enzim fenolase menjadi tidak aktif ketika dipanaskan. Namun, proses ini juga memiliki dampak negatif. Gula yang ada di dalam makanan akan keluar dari makanan karena suhu tinggi.[11]
Proses pencokelatan enzimatis juga dapat dikurangi denggan mengurangi kontak apel dengan besi. Selain itu, ada baiknya apabila apel yang telah dipotong tidak dimasukkan ke dalam mangkuk atau piring yang terbuat dari tembaga. Hal ini disebabkan karena reaksi enzimatis akan dipercepat oleh kedua jenis logam tersebut. Pemotongan apel lebih baik dilakukan dengan menggunakan pisau anti karat yang terbuat dari stainless steel. Pisau besi lebih mudah berkarat daripada pisau dari stainless steel. Apel mengandung asam yang bersifat korosif bagi berbagai jenis logam. Stainless steel termasuk logam yang tidak mudah bereaksi dengan asam sehingga tidak mudah berkarat. Seperti yang telah disebutkan, pisau yang berkarat akan mempercepat proses pencokelatan.
Pencegahan proses pencokelatan enzimatis pada apel juga dapat dilakukan dengan penurunan pH apel. Enzim fenolase yang berperan dalam reaksi pencokelatan pada apel memiliki pH optimum antara 5,0-7,0. Ketika apel diberi sedikit cairan asam, pH dari apel akan menurun. Ketika pH mencapai 3,0, aktivitas enzim fenolase akan berkurang. Berkurangnya aktivitas enzim fenolase tersebut akan mencegah proses pencokelatan enzimatis. Asam askorbat dapat digunakan karena asam askorbat merupakan inhibitor alami bagi fenolase. Asam askrobat yang digunakan dapat diperoleh dari sari jeruk nipis, sari buah nenas dan sari buah lemon. [12]
Proses pencokelatan pada makanan seringkali menimbulkan masalah bagi produsen maupun konsumen. Produsen makanan harus benar-benar memperhatikan cara pengemasan bahan makanan. Pengemasan apel yang tidak tepat akan mempercepat proses pencokelatan yang terjadi karena benturan-benturan. Hal tersebut dapat diminimalisir dengan penyusunan buah apel yang berukuran sama di dalam kotak yang sama. Dengan mengepak buah apel yang berukuran hampir sama di dalam satu kotak, rongga di dalam kotak dapat dikurangi dan apel dapat tersusun dengan rapi. Susunan apel yang rapi akan mengurangi pergerakan dan pergesekan antara apel yang satu dengan yang lain sehingga proses pencokelatan akibat luka atau benturan dapat dikurangi.
Apel merupakan buah yang memiliki banyak manfaat. Sangatlah disayangkan apabila peminat apel berkurang karena proses pencokelatan yang mengurangi kelezatan dari apel. Sesungguhnya, terdapat banyak cara mudah guna mencegah proses pencokelatan ini. Perendaman dengan air, pemberian sari jeruk nipis atau buah nenas, dan pemilihan pisau yang baik sebagai pemotong apel merupakan cara-cara yang dapat dilakukan oleh semua orang sebagai pencegahan proses pencokelatan. Hal-hal tersebut dapat dilakukan sehingga semua orang dapat menikmati apel tanpa harus terganggu oleh perubahan rasa yang disebabkan oleh proses pencokelatan.

DAFTAR PUSTAKA
Boyacioglu, D. (n.d.). Enzymatic Browning. Disadur dari: http://web.itu.edu.tr/~boyaci/07%20Enzymatic%20Browning.pdf (22 April 2011, pukul 23.15 WIB)
Cheng, G.W. & Crisosto, C.H. (1995). Browning Potential, Phenolic Composition, and Polyphenoloxidase Activity of Buffer Extracts of Peach and Nectarine Skin Tissue. Disadur dari: http://postharvest.ucdavis.edu/datastorefiles/234-342.pdf (22 April 2011, pukul 23.26 WIB)
Davies, C. (2002). Enzymatic Browning of Apple. Disadur dari: http://ag.udel.edu/other_websites/foodworkshop/WSFWorkshop/Enzymatic%20Browning%20%28Ch1%29.htm (22 April 2011, pukul 22.45 WIB)
Hatfield, R.D. & Sullivan, M.L. (2007). Polyphenol Oxidase Generated Quinones: Biochemical Mechanism and Conequences of Their Interactions with Proteins. Disadur dari: http://www.reeis.usda.gov/web/crisprojectpages/204872.html (22 April 2011, pukul 22.59 WIB)
Markowski, J. & Plocharski, W. (2005). Determination of Phenolic Cmpounds in Apples and Processed Apple Products. Disadur dari: http://www.insad.pl/files/journal_pdf/Suppl_2_2006/Suppl_2_full_12_2006.pdf (22 April 2011, pukul 23.49 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar