Apel adalah buah yang digemari oleh banyak orang.
Terdapat beberapa jenis apel, seperti: Apel Granny Smith, Apel Fuji dan
Apel Malang. Tiap jenis apel memiliki rasa yang khas, tetapi ada satu kesamaan
dari semua apel, yaitu perubahan warna menjadi kecokelatan ketika apel dipotong
atau dikupas. Perubahan warna ini dapat disertai dengan perubahan rasa pada
apel yang mengurangi kelezatan buah tersebut. Banyak orang yang tidak
mengetahui alasan di balik perubahan warna pada apel. Sesungguhnya, perubahan
warna dari apel tersebut melibatkan reaksi kimia yang disebut proses
pencokelatan.
Proses Browning atau pencokelatan adalah proses
di mana suatu zat, pada umumnya berupa makanan, berubah warna menjadi
kecokelatan.[1] Perubahan warna tersebut umumnya diikuti
oleh perubahan rasa pada makanan yang mengurangi cita rasa makanan sehingga
proses ini seringkali dianggap merugikan. Namun, sesungguhnya ada pula proses
pencokelatan yang diinginkan dan sengaja dilakukan pada bahan pangan. Terdapat
dua jenis proses pencokelatan, yaitu: proses pencokelatan yang melibatkan kerja
enzim atau pencokelatan enzimatik dan proses pencokelatan yang terjadi tanpa
kerja dari enzim atau pencokelatan oksidatif. Karamelisasi dan Reaksi Maillard
adalah dua jenis utama dari proses pencokelatan oksidatif. Karamelisasi
merupakan proses oksidasi yang terjadi pada gula, sedangkan reaksi Maillard
adalah reaksi kimia asam amino dan gula pereduksi.[2]
Proses pencokelatan enzimatik melibatkan enzim-enzim
seperti Monophenol Monoxygenase atau tyrosinase, polifenol
oksidase atau fenolase, dan laccase.[3] Proses pencokelatan yang dialami oleh
apel merupakan proses pencokelatan enzimatik yang dipengaruhi oleh kerja enzim
fenolase. Ketika apel dikupas atau dipotong, enzim yang tersimpan di dalam
jaringan apel akan terbebas. Apabila enzim tersebut mengalami kontak dengan
oksigen di udara, fenolase akan mengkatalisis konversi biokimia dari komponen
fenolik yang ada pada apel sehingga komponen tersebut berubah menjadi pigmen
coklat atau melanin. Proses ini pada umumnya terjadi pada pH antara 5,0-7,0 dan
pada temperatur yang cenderung hangat. Sebagai tambahan, kontak dengan besi
atau tembaga akan mempercepat reaksi pencokelatan enzimatik. Hal ini dapat
diamati ketika apel dipotong menggunakan pisau yang telah berkarat atau ditaruh
di dalam mangkok tembaga lalu diaduk-aduk, proses pencokelatan yang terjadi
dapat terlihat dalam waktu yang lebih singkat.[4]
Terdapat dua reaksi dalam proses pencokelatan
enzimatik yaitu reaksi Cresolase dan Catecholase.[5] Dalam reaksi Cresolase, komponen
monofenol yang ada pada apel mengalami hidroksilasi menjadi o-difenol. Dalam
reaksi Catecholase, difenol diubah menjadi o-quinone. Reaksi ini sering
juga disebut reaksi difenolase. Reaksi Catecholase terjadi segera
setelah terbentuknya senyawa o-difenol, tanpa memerlukan keberadaan oksigen
ataupun enzim fenolase. Setelah senyawa o-quinone terbentuk, senyawa o-difenol
akan mengalami hidroksilasi menjadi senyawa trifenolik yang akan bereaksi lebih
jauh dengan o-quinone dalam proses pembentukan melanin coklat pada apel.[6]
Komponen fenolik pada apel berupa flavonoid dan asam
fenolik. Flavonoid yang ada di dalam apel adalah flavonol, catechin, dan
epicatechin. Contoh asam fenolik yang ada di dalam apel adalah asam cafeic
dan asam p-coumaric yang membentuk ester dengan asam quinic di
dalam apel. Senyawa fenolik lainnya adalah floretin glikosida. Konsentrasi
masing-masing senyawa fenolik pada apel bervariasi, bergantung pada
bagian-bagian di mana senyawa tersebut ada. Pada kulit apel, senyawa fenolik
yang mendominasi adalah quercetin glikosida dan flavonol. Bagian inti
dan biji buah apel banyak mengandung floretin glikosida. Bagian korteks buah
apel banyak mengandung asam fenolik.[7]
Sebagian besar komponen fenolik yang dimiliki oleh
apel berbentuk senyawa o-difenol. Senyawa o-difenol adalah senyawa organik
berupa antioksidan yang berfungsi mengurangi resiko kanker. Dalam proses
pencokelatan, enzim fenolase mengubah o-difenol pada apel menjadi o-quinone
yang lebih reaktif. Senyawa o-quinone akan bereaksi lebih jauh dengan komponen
fenolik lainnya dan protein pada jaringan apel dan membentuk melanin yang
memberikan warna cokelat pada apel. Enzim fenolase memerlukan oksigen agar dapat
bekerja. Oksigen berperan sebagai akseptor hidrogen dalam proses pencokelatan
sedangkan Komponen fenolik pada apel merupakan substrat dari enzim fenolase.[8]
Proses pencokelatan juga dapat disebabkan oleh luka
pada apel yang terjadi karena benturan-benturan pada permukaan apel. Ketika
apel terluka, ada beberapa sel yang menjadi rusak. Kerusakan sel ini akan
mengekspos komponen fenolik pada apel sehingga fenolase dapat dengan mudah
bereaksi dengan komponen fenolik tersebut. Proses pencokelatan terjadi ketika
fenolase mengoksidasi komponen fenolik yang sudah terekspos dan membentuk
senyawa melanin yang memberikan warna kecokelatan pada apel. Konsentrasi dari
fenolase yang ada pada apel akan mempengaruhi seberapa jauh proses pencokelatan
terjadi.[9]
Pencegahan proses pencoklatan sangat penting dalam
industri makanan, karena warna seringkali dianggap sebagai tolak ukur konsumen
dalam memilih makanan. Kemungkinan terjadinya proses pencokelatan pada apel
yang disebabkan oleh benturan-benturan meningkatkan kewaspadaan para produsen
apel dalam proses pengemasan apel. Apabila apel tidak dikemas dengan baik,
kemungkinan terjadinya luka pada saat transportasi apel semakin besar.
Benturan-benturan yang terjadi akan menyebabkan terjadinya proses pencokelatan
pada apel yang akan mengurangi daya tarik dan rasa dari apel. Oleh karena itu,
produsen biasanya membungkus apel dengan kertas sebelum dimasukkan ke dalam
kardus agar kemungkinan terjadinya benturan pada apel dapat dikurangi.
Penggunaan inhibitor dapat dilakukan guna mengontrol
proses pencokelatan. Inhibitor bagi enzim fenolase dapat berupa
dietil-ditiokarbonat. Seyawa ini dapat mencegah terjadinya proses pencokelatan
enzimatik. Proses inhibisi dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu: inaktivasi
enzim, reaksi inhibitor dengan substrat, dan reaksi inhibitor dengan produk.
Inaktivasi enzim terjadi ketika inhibitor membentuk suatu kompleks dengan enzim
yang menyebabkan enzim tersebut menjadi tidak aktif dan tidak dapat bereaksi
dengan senyawa. Inhibitor bereaksi dengan substrat sehingga substrat mengalami
perubahan struktur dan tidak dapat membentuk kompleks dengan enzim. Inhibitor
juga dapat bereaksi dengan produk. Namun, cara ini tidak dapat digunakan pada
apel karena senyawa dietil-ditiokarbonat beracun bagi tubuh.
Mengurangi kontak makanan dengan oksigen juga dapat
mengontrol proses pencokelatan. Metode ini dapat dilakukan dengan merendam apel
dalam air sebelum mengonsumsi apel. Hal ini dapat dilakukan pada apel yang
tidak langsung dikonsumsi setelah dikupas atau dipotong. Perendaman apel
bertujuan agar enzim fenolase tidak dapat bereaksi dengan oksigen sehingga
reaksi pencoklatan tidak terjadi karena proses pencokelatan enzimatik
membutuhkan bantuan oksigen agar dapat terjadi.[10] Proses pencokelatan juga dapat dikontrol
dengan proses pemanasan makanan. Enzim fenolase menjadi tidak aktif ketika
dipanaskan. Namun, proses ini juga memiliki dampak negatif. Gula yang ada di
dalam makanan akan keluar dari makanan karena suhu tinggi.[11]
Proses pencokelatan enzimatis juga dapat dikurangi
denggan mengurangi kontak apel dengan besi. Selain itu, ada baiknya apabila
apel yang telah dipotong tidak dimasukkan ke dalam mangkuk atau piring yang
terbuat dari tembaga. Hal ini disebabkan karena reaksi enzimatis akan
dipercepat oleh kedua jenis logam tersebut. Pemotongan apel lebih baik dilakukan
dengan menggunakan pisau anti karat yang terbuat dari stainless steel.
Pisau besi lebih mudah berkarat daripada pisau dari stainless steel.
Apel mengandung asam yang bersifat korosif bagi berbagai jenis logam. Stainless
steel termasuk logam yang tidak mudah bereaksi dengan asam sehingga tidak
mudah berkarat. Seperti yang telah disebutkan, pisau yang berkarat akan
mempercepat proses pencokelatan.
Pencegahan proses pencokelatan enzimatis pada apel
juga dapat dilakukan dengan penurunan pH apel. Enzim fenolase yang berperan
dalam reaksi pencokelatan pada apel memiliki pH optimum antara 5,0-7,0. Ketika
apel diberi sedikit cairan asam, pH dari apel akan menurun. Ketika pH mencapai
3,0, aktivitas enzim fenolase akan berkurang. Berkurangnya aktivitas enzim fenolase
tersebut akan mencegah proses pencokelatan enzimatis. Asam askorbat dapat
digunakan karena asam askorbat merupakan inhibitor alami bagi fenolase. Asam
askrobat yang digunakan dapat diperoleh dari sari jeruk nipis, sari buah nenas
dan sari buah lemon. [12]
Proses pencokelatan pada makanan
seringkali menimbulkan masalah bagi produsen maupun konsumen. Produsen makanan
harus benar-benar memperhatikan cara pengemasan bahan makanan. Pengemasan apel
yang tidak tepat akan mempercepat proses pencokelatan yang terjadi karena
benturan-benturan. Hal tersebut dapat diminimalisir dengan penyusunan buah apel
yang berukuran sama di dalam kotak yang sama. Dengan mengepak buah apel yang
berukuran hampir sama di dalam satu kotak, rongga di dalam kotak dapat
dikurangi dan apel dapat tersusun dengan rapi. Susunan apel yang rapi akan
mengurangi pergerakan dan pergesekan antara apel yang satu dengan yang lain
sehingga proses pencokelatan akibat luka atau benturan dapat dikurangi.
Apel merupakan buah yang memiliki
banyak manfaat. Sangatlah disayangkan apabila peminat apel berkurang karena
proses pencokelatan yang mengurangi kelezatan dari apel. Sesungguhnya, terdapat
banyak cara mudah guna mencegah proses pencokelatan ini. Perendaman dengan air,
pemberian sari jeruk nipis atau buah nenas, dan pemilihan pisau yang baik
sebagai pemotong apel merupakan cara-cara yang dapat dilakukan oleh semua orang
sebagai pencegahan proses pencokelatan. Hal-hal tersebut dapat dilakukan
sehingga semua orang dapat menikmati apel tanpa harus terganggu oleh perubahan
rasa yang disebabkan oleh proses pencokelatan.
DAFTAR PUSTAKA
Boyacioglu, D. (n.d.). Enzymatic Browning.
Disadur dari: http://web.itu.edu.tr/~boyaci/07%20Enzymatic%20Browning.pdf
(22 April 2011, pukul 23.15 WIB)
Cheng, G.W. & Crisosto, C.H. (1995). Browning
Potential, Phenolic Composition, and Polyphenoloxidase Activity of Buffer
Extracts of Peach and Nectarine Skin Tissue. Disadur dari:
http://postharvest.ucdavis.edu/datastorefiles/234-342.pdf (22 April 2011, pukul
23.26 WIB)
Davies, C. (2002). Enzymatic Browning of Apple.
Disadur dari: http://ag.udel.edu/other_websites/foodworkshop/WSFWorkshop/Enzymatic%20Browning%20%28Ch1%29.htm
(22 April 2011, pukul 22.45 WIB)
Hatfield, R.D. & Sullivan, M.L. (2007). Polyphenol
Oxidase Generated Quinones: Biochemical Mechanism and Conequences of Their
Interactions with Proteins. Disadur dari: http://www.reeis.usda.gov/web/crisprojectpages/204872.html
(22 April 2011, pukul 22.59 WIB)
Markowski, J. & Plocharski, W. (2005). Determination
of Phenolic Cmpounds in Apples and Processed Apple Products. Disadur dari:
http://www.insad.pl/files/journal_pdf/Suppl_2_2006/Suppl_2_full_12_2006.pdf (22
April 2011, pukul 23.49 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar